ALKISAH, di pesisir Lampung Barat, hiduplah Abah; Emak; dan putri semata wayang mereka bernama Arum Sekar. Mereka tinggal di sebuah rumah yang khas.
Rumah mereka berdiri di atas tiang-tiang kayu yang tinggi. Terlindung dari pasang laut dan hewan liar yang suka muncul malam hari.

Dinding rumah mereka terbuat dari anyaman bambu yang rapat. Atapnya terbuat dari susunan rumbia. Semuanya terkesan sejuk, meski angin laut berembus tanpa henti.
Tangga kayu kecil di depan rumah menjadi pintu masuk satu-satunya. Tingginya sekitar bahu orang dewasa, mudah dilepas ketika bahaya tiba.
Seperti biasa, pagi ini disambut aroma seruit1 buatan Emak. Burung kaghok 2terbang rendah melewati halaman.
“Emaaak, Arum boleh menenun lagi hari ini?” tanya Arum kepada Emak. Arum memang sedang semangat belajar menenun.
“Boleh, Nak” jawab Emak lembut. “Tapi ingat, menenun itu harus sabar,” sambungnya.
Arum pun duduk di depan alat tenun yang ada di loteng. Ada benang sulam kebayan3 yang tersimpan rapi di sekitarnya.

Denting kayu terdengar pelan ketika Arum menarik benang merah dan emas. Ia berusaha membentuk motif pucuk rebung4 yang biasa dipakai dalam tapis siger5.
Angin laut menyibakkan tirai bambu. Memberi semangat kecil kepada Arum.
Setelah cukup lama, Abah memanggil Arum dari bawah. “Aruuum … coba turun sebentar. Abah mau lihat hasilnya.”
Arum menuruni tangga dengan sangat hati-hati. Jantungnya berdegup kencang. Ia penasaran bagaimana tanggapan Ayah tentang hasil karyanya.
“Masya Allah, Nak. Cantik sekali!” seru Abah. “Ini Arum yang buat?”
“Iya, Abah,” jawab Arum pelan.
Emak tersenyum bangga. “Arum menenunnya dengan hati. Emak bisa lihat.”

Kemudian Arum pun duduk di serambi rumah dengan hati yang bangga. Dari laut, ombak membawa wangi garam yang menenangkan.
Arum membentangkan kain tenunnya. Ia membayangkan, suatu hari nanti, ia bisa membuat tapis lengkap dengan hiasan junjungan6.
“Emaaak, apa nanti Arum bisa bikin tapis sebesar punya Nenek?” tanya Arum.
“Tentu bisa. Semua itu dimulai dari satu benang, Nak,” jawab Emak sambil mengelus rambut Arum yang panjang sebahu.
Dalam hatinya, Arum bertekad menjaga cerita dan keindahan tapis siger. Itu adalah warisan leluhurnya … yang berkilau sehangat senja di pesisir. [*]
Catatan: Ilustrasi dalam cerita ini tidak merepresentasikan kekayaan budaya secara tepat dan mendetail. Mohon temani anak/siswa melihat setiap produk budaya dalam bentuk aslinya, secara langsung maupun daring.
Glosarium
- Seruit: Makanan khas Lampung yang dibuat dari ikan bakar/ikan goreng yang dicampur sambal terasi, mangga muda, dan lalapan. ↩︎
- Kaghok: Burung khas wilayah Lampung yang sering dijumpai di daerah pesisir; memiliki kicauan nyaring. ↩︎
- Sulam Kebayan: Istilah Lampung untuk benang sulaman halus berwarna cerah (biasanya emas atau perak) yang digunakan dalam pembuatan kain tapis. ↩︎
- Pucuk Rebung: Motif tradisional Lampung yang menyerupai bambu muda; melambangkan pertumbuhan, harapan, dan kehidupan baru. ↩︎
- Tapis Siger: Kain adat Lampung dengan hiasan khas yang biasa dipakai bersama mahkota siger pada upacara adat atau perayaan. ↩︎
- Junjungan: Ornamen sulam atau hiasan tambahan dalam tapis; biasanya berbentuk tumpuk atau bertingkat sebagai simbol kehormatan dan keindahan. ↩︎


