PAGI ITU, Ais sedang bermain di teras rumah dan melihat sebuah toples kecil di meja.
Di dalamnya, ada banyak camilan kecil yang dibungkus kertas warna-warni. Ada warna merah, kuning, dan hijau.

Mata Ais berbinar. “Wah, ada permen!” pikirnya.
Tanpa ragu, Ais mengambil satu bungkus berwarna hijau. Ia membuka kertasnya dengan hati-hati, berharap menemukan rasa anggur atau melon seperti permen kesukaannya.
Saat isinya terlihat, Ais bingung. Bentuknya bukan bulat seperti permen, tapi kotak dan lengket.
“Ini permen apa, ya?” gumamnya.

Ia tetap mencicipinya. Begitu digigit, rasa manis legit langsung memenuhi mulutnya. “Hmm … enak banget!”
Ais mengunyah pelan. Rasanya berbeda dari permen—lebih lembut dan wangi.
Ibu yang baru keluar dari dapur tertawa melihat wajah Ais.

“Ibu, ini permen apa?” Ais langsung bertanya.
“Itu bukan permen, Nak. Itu wajik. Kue dari ketan dan gula merah.”
Ais kaget. “Kok bungkusnya warna-warni seperti permen?”
“Supaya menarik dan gampang dibawa. Dulu Ibu kira juga permen,” jawab Ibu sambil tersenyum.

Ais mengambil satu lagi, kali ini yang berwarna merah. “Kalau gitu, aku mau makan ‘permen wajik’ lagi!”
Ibu tertawa. Hari itu, Ais tahu, ada wajik yang seperti permen, tapi rasanya jauh lebih enak. [*]


